Saturday, January 12, 2013

Sebuah Episode, Di Kota Paling Romatis Sedunia (Part 2)



***
Sore yang sungguh indah di tengah kota Paris. Konon katanya, Paris adalah kota paling romantis sedunia. Bangunan-bagunan yang artistic, seperti Musée du Louvre, yang menyimpan mahakarya seniman-seniman besar dunia menjadi daya tarik tersendiri. Tata kotanya yang rapi, bersih dan memiliki banyak taman yang tertata rapi pula, membuat kota tersebut lebih menawan. L’avenue des Champs-Élysées dengan Arc du Triomphe yang berada persis di ujung baratnya, menjadi bagian di jantung kota Paris yang tidak bisa dilewatkan untuk dikunjungi. Tidak heran di sepanjang jalan itu, berjejer toko-toko yang menjual barang-barang dengan brand termahsyur di dunia, yang harganya selangit. Orang-orang kalangan tertentu saja yang bisa berbelanja di sana. Bagi seseorang dengan ukuran kantong seperti Bila, yang hanya bermodalkan uang beasiswa, berjalan-jalan dan mengabadikan moment tersebut dengan kamera saja sudah menjadi sesuatu yang luar biasa. Dan tentu saja sang primadona yang menjadi icon Paris, menara Eiffel. Sambil mendengarkan alunan music klasik, Piano Sonate #8 in C minor, OP.13 "Pathetique" - 2nd Movement, karya seorang musisi besar Ludwig van Beethoven, Bila duduk sendiri di sebuah bangku taman yang langsung menghadap sang nyonya besar mahakarya kota Paris tersebut. Saat itu, udara masih terasa sangat dingin untuk kulit tropisnya. Namun, nampaknya suhu seperti ini biasa untuk orang-orang disekitarnya. Sore itu, dengan lampu-lampu kota yang mulai menyala dan sisa-sisa salju yang tampak seperti kristal, kota Paris terlihat begitu eksotik.  Eiffel terlihat begitu anggunnya, berwarna perak keemasan karena efek pencahayaan yang luar biasa. Dengan musik klasik yang masih mengalun tenang menalui iPod-nya, ia menikmati sore yang luar biasa itu. Subhanallah. 

Sampai detik inipun ia masih belum percaya bahwa ia ada di sini. Sambil memandang pemandangan menakjubkan dihadapannya ia kembali memikirkan hal-hal luar biasa yang terjadi pada dirirnya. Perjalanan ini diawali ketika ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk belajar bahasa Perancis di Paris selama 2 bulan dari sebuah lembaga pendidikan Perancis.  Ingat-ingatan itu kembali memasuki pikirannya, tes-tes yang dilalui untuk mendapatkan beasiswa itu, proses antrean panjang saat membuat passport, bahkan masalah di kedutaan Perancis saat membuat visa karena dia berjilbab yang hampir saja membuatnya tidak  bisa berangkat. Subhanallah. Beginilah cara Allah menyayangi hambanya, pikirnya. Dengan memberikan sebuah nikmat dengan 2 pilihan saja, baik atau sangat baik. Selama ini ia selalu membayangkan, ia berjalan di tengah kota di sebuah negara di Eropa sambil mendengarkan music klasik. Pas sekali rasanya. Dan saat itu terjadi, sebuah ketidakpercayaanlah yang kembali timbul dalam benaknya, hingga sebuah sapaan menyadarkan,
Vous voulez manger quelque chose mademoiselle?[1]
Seorang ibu tua menyapanya, menawarkan beberapa potong roti, salah satunya roti berisi daging dan sejenis sayur, semacam sandwich, pikirnya. Perutnya memang sangat lapar,  hari ini adalah hari keduanya di Perancis dan ia belum makan apapun selain roti dan mie instant, yang dimasak dengan hanya disedu air panas, yang ia bawa dari tanah air tadi pagi. Masalah pertama yang dihadapi seorang muslim ketika tiba di negeri orang adalah masalah makanan, susah untuk mendapat makanan halal di sana. Dan itupun yang ia hadapi sejauh ini. Tawaran ibu itu sungguh menggiurkan, menyantap roti itu pasti sangat enak. Namun, kekhawatirannya akan kehalalan  makanan itu, mampu melawan nafsunya, dan mematahkan keinginannya untuk menerima roti tersebut. Ia pun berkata,
Non, merci beaucoup. J’ai déjà mangé.[2]
Ia sama sekali tidak berbohong, dia memang sudah makan tadi pagi. Tidak banyak yang mereka obrolkan. Ibu itu hanya sebatas bertanya siapa namanya, dari mana dan apa keperluannya datang ke Perancis, dan ibu itu pun pergi. Bila sungguh merasa sangat senang mengobrol dengan ibu itu. Sejauh ini ia belum punya teman sama sekali. Obrolannya dengan ibu itu membuatnya merasa diterima di negeri asing itu. Program belajar itu memang baru akan dimulai beberapa hari lagi, sehingga banyak peserta lain yang belum datang. Masih ada banyak hari untuk dilalui, ini belumlah seberapa. Harus mempersiapkan untuk yang terburuk, pikirnya. 

                                                                                                                               -bersambung-


[1]  Apakah Anda ingin makan sesuatu, Nona?

[2]  Tidak, terima kasih banyak. Saya sudah makan.

Dan Aku pun Belajar.... (Edisi Kangen INKLUSIF dan seisinya)



 
Bagi sebagian orang, mungkin mereka adalah masalah, atau pembuat onar yang dipandang sebelah mata. Dan mungkin, bagi sebagian orang tua yang mendapat rezeki dengan dititipi seorang anak dengan kekekurangan seperti mereka mengangkap bahwa Allah tidak adil . Sungguh, pendapat yang demikian terasa begitu kejam bagi mereka. Anak autis, down syndrome, slow learner, tuna rungu, tuna wicara... mereka adalah sumber pembelajaran yang luar biasa bagi orang-orang yang mau mengenal mereka lebih dekat.. 

Bagi ku, mengajar adalah hobby. Oh,... bukan,bukan... lebih tepat disebut, passion. Mengajar di lembaga belajar, privat SD, SMP, SMA dan bentuk mengajar-mangajar yang lain pernah ku lakukan. Tapi, kali ini benar-benar berbeda. INKLUSIF, sebuah sanggar belajar sederhana di pinggir kota Jogja. Jika melihat dari luar, mungkin sanggar ini hanyalah sebuah rumah sederhana yang setiap sore didatangi oleh anak-anak kecil untuk sekedar belajar membaca, menulis, berhitung, atau mengerjakan PR. Bahkan mungkin bagi orang yang hanya melintas, tidak akan menyangka jika tempat itu adalah sebuah sanggar belajar, dan itu pula pendapatku saat pertama kali menyambangi tempat itu. Sederhana, memang begitulah, beberapa meja panjang, tikar, rak buku dengan buku-buku pelajaran SD kelas 1-6, dan beberapa alat bantu belajar, tanpa poster-poster bahkan papan nama. Sederhana, sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan tempat itu saat ini. Dan, disitulah aku mengajar beberapa bulan yang lalu. 

Selama 3 bulan, hampir setiap sore aku menyambangi tempat itu. Ada 4 guru tetap yang mengajar, salah satunya adalah Bu Ami, beliau pendiri sanggar sekaligus pemilik rumah. Pada awalnya mungkin hanya sekitar 20-30 anak yang belajar di sana. Tapi, dengan semakin banyaknya anak yang datang untuk belajar, Bu Ami dan teman-teman kewalahan mengajar, dan datanglah aku dan teman-temanku untuk sekedar membantu. Mengajar berhitung, membaca, menulis, dan membantu mengerjakan PR, memang itu yang menjadi perkerjaan kami. Tapi pernah terbanyangkan-sebelumnyakah bahwa yang harus diajari membaca, menulis, berhitung adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus? yakkk.. itulah yang kami lakukan. 

INKLUSIF, bukan saja sanggar belajar untuk anak-anak sekolah pada umumnya, tapi juga bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Sungguh, benar-benar pengalaman yang berbeda ketika berhadapan dengan mereka. Bingung, stuck, mati kutu, pada awalnya. Bagaimana caranya mengajari seorang anak tuna rungu konsep perkalian, bagaimana bisa membuat seorang anak tuna wicara melafalkan huruf dan membaca? Dan bagaimana mengajari ilmu seorang anak yang akupun tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya? Sungguh, bagi orang awam sepertiku, serasa mustahil. Tak terelakan, emosi sering kali muncul ketika mereka tak juga paham dengan apa yang aku ajarkan. "Sabar mbak... ", nasihat Bu Ami, ketika melihatku kewalahan  mengajari mereka. Bu Ami, memang sesosok orang yang sunguh inspiratif. Beliau sungguh sabar dan tulus. Beliau mendirikan sanggar belajar ini, sama sekali bukan karena alasan profit, tapi tulus dan murni karena Bu Ami mencintai anak-anak itu, bahkan sering kali Bu Ami mengajar tanpa imbalan sepeserpun. Sabar dan cinta, itu yang kulihat dari Bu Ami dan pengajar-pengajar yang lain ketika mengajar anak-anak luar biasa ini. Dan ajaib, dengan resep itu, anak tuna rungu kini bisa berhitung, menulis, bahkan membaca koran, anak tuna wicara kini sudah mampu bercanda dengan anak-anak lain pada umumnya, dan seorang anak down syndrome yang pada awalnya tidak bisa apa-apa kini bisa hidup lebih mandiri. 

Aku memang mengajar disana, tapi sungguh, justru aku yang jauh lebih banyak belajar dari mereka. Pada awalnya mereka membutuhkanku sebagai staff pengajar, tapi pada akhirnya akulah yang membutuhkan mereka. Mereka bukanlah anak-anak Sekolah Luar Biasa, tapi mereka memang anak-anak luar biasa yang mempu mengalahkan kekurangan mereka dan menjadikan itu sebagai inspirasi bagi orang lain yang mau mengenal mereka lebih dekat. Dan sungguh, orang-orang seperti Bu Ami dan teman-teman pengajar disana, guru-guru di Sekolah Luar Biasa, adalah orang-orang yang tidak kalah hebat dari pada guru-guru pada umumnya bahkan terkadang mereka jauh lebih hebat, tidak sepantasnya pekerjaan mereka dipandang sebelah mata. Sungguh pengalaman yang luar biasa pernah ada di sana. Dan setiap motorku memasuki halaman sanggar, selalu mereka menyambutku dengan sapaan hangat yang kurindukan saat ini dan yang akan selalu kurindukan, "Mbak Encaaaaaa......"







Friday, August 3, 2012

안녕하세요...


Mungkin, bermimpi itu perkara mudah. Namun, menjaga mimpi, itu perkara lain.  Sebuah quote dari Paulo Coelho yang mengispirasi banyak orang, termasuk saya.. “And, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.” Bagi sebagian orang, mungkin, It’s just a word, tapi untuk sebagian yang lain, itu mantra. Dan.. mungkin disinilah letak perbedaannya, di mana sebagian orang mampu mencoret 1 per 1 mimpi mereka, dan yang lain, diam di tempat. Yak, dan saya memilih mencoba untuk menjadi orang yang pertama..

Tidak cukup satu, dua kali mencoba untuk sampai disini.. empat, lima, enam, lebih.. Sabar saja tidak cukup, harus sangat sangat sabar.. Gagal, itu teman terdekat bermimpi. Jadi, bagi yang mengaku pemimpi harus siap dan akrab dengan yang namanya gagal. “There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.” (Paulo Coelho). Bermimpilah, jaga, dan percayalah waktu mu akan datang... Trust me, it works, I proved it!!!! And here I am.... KOREA!!!!

Korea.. banyak orang memimpikan untuk berkunjung ke negara ini. Dan, syukur alhamdullilah saya salah satu orang yang beruntung terpilih sebagai peserta “Chungnam National University International Summer School  2012”. 3 minggu, mungkin waktu yang cukup singkat untuk mempelajari budaya, bahasa, hangul (alfabet korea), dan kehidupan orang Korea. Namun, itu waktu yang sangat cukup untuk melihat dan menyadari betapa sejahteranya Korea. Well, tidak diragukan kenapa Korea disebut sebagai salah satu negara macan Asia. Untuk kita orang Indonesia, termasuk saya, mungkin yang pertama kali muncul dalam pikiran ketika menyebut Korea adalah K-pop. Dan, Korea bukan sekedar K-pop: Suju, SNSD, drama korea, it’s just small part.. Mari kita bahas satu-satu... Check this out!!!

a.      Bahasa

Seiring dengan perkembangan K-pop di seluruh dunia, saat ini bahasa Korea mulai banyak dipelajari. Bagi seseorang yang suka belajar bahasa, bahasa Korea adalah bahasa yang menarik untuk dipelajari dan cukup menantang. Saya sarankan untuk balajar Hangul terlebih dahulu.. setelah bisa membaca hurufnya akan lebih mudah mempelajari yang lain, karena jujur, bahasa Korea agak sulit diucapkan dan ditulis dalam tulisan latin. Bagi yang ingin berkunjung ke Korea tapi belum bisa bahasa Korea sangat disarankan untuk membawa buku atau semacam catatan percakapan umum bahasa Korea. Orang Korea jarang yang bisa berbahasa Inggris fasih. Saya sering kesulitan untuk berkomunikasi di sini, bahkan di universitas. So, get well prepared..


 



 


b.      Makanan

Mungkin, bagi orang Indonesia makanan Korea kurang begitu bersahabat dengan lidah.. Kimchi, adalah makana khas Korea. Kimchi itu semacam sayuran fermentasi yang rasanya sangat asam, tapi sangat bagus untuk kesehatan. Katanya, bisa mencegah kanker. Tapi, hati-hati ketika pertama kali mencoba, saya sarankan cukup ambil sedikit. Kimchi semacam makanan pendamping dan bisa ditemukan kapanpun setiap waktu makan.. Makanan yang lain yang lain seperti bibimbap, bulgogi, dan lain-lain harus hati-hati sebelum mencoba. Bagi yang muslim pastikan tidak ada babinya.. dweji gogi isoyo? (apa ada daging babinya?) salah satu kalimat tanya yang bisa digunakan.. Selama disini, saya tidak terlalu kesulitan dalam hal makanan. Orang Korea itu rata-rata sangat baik, pernah beberapa kali ketika saya benar-benar tidak bisa makana makanan yang ada di kafetaria, seorang Ajma (bibi) yang baik hati membawakan nasi putih dan ikan ke meja saya, karena beliau tau saya tidak makan babi. Dan itu tidak hanya sekali..

Di Korea budaya makan-makan seperti yang kita sering lihat di drama Korea memang ada. Ada sangat banyak tempat makan di seluruh penjuru kota, dan yang mengherankan adalah semua ramai. Saya sarankan untuk tidak sembarangan masuk ke tempat makan itu. Saya sarankan sebemlum memilih tempat makan tannyalah pada orang yang sudah mengenal tempat itu atau minimal yang bisa membaca hangul.. karena semua menu akan tertulis dalam Hangul dan pelayan tidak bisa menerangkan menu dalam bahasa Inggris... Jadi, intinya, hati-hati... 

 

Saturday, March 31, 2012

Sebuah Episode, Di Kota Paling Romatis Sedunia

Wussssss……….

Seketika udara dingin langsung menyambut dan mengerutkan kulit gadis tropis itu. Sensasi yang tidak biasa. Selama 19 tahun ia hidup di negeri tropis dan kini untuk pertama kalinya ia menghadapi suhu udara di bawah 10˚C. Paris memang terlihat pucat dari atas sana tadi. Hampir di akhir musim dingin, sungguh waktu kedatangan yang tepat pikirnya. Mungkin kostumnyalah saat ini yang kurang tepat. Sudah ia perhitungkan sebelum pergi, pakaian apa yang  harus dikenakannya. Sweater dan syal tebal itu ternyata belum cukup bersahabat dengan udara yang baru saja menyapanya saat keluar dari pesawat.

Wusss… 

Namun, semua itu tidak berarti apapun jika dibandingkan bara api semangat dalam dirinya. Kini hati dan jiwanya sedang benar-benar berkobar. Rasa lelah yang dirasakan beberapa waktu yang lalu karena penerbangan 18 jam sirna seiring dengan landing-nya pesawat. Bahkan rasa mual dan pusing karena turbulence yang dirasakan selama berjam-jam dalam pesawat sirna seiring dengan hembusan angin dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri. Bagaimana tidak, kini rasa tidak percayanyalah yang memuncak, menimbulkan  tabir aneh dalam nalarnya, yang membuatnya lupa akan sensasi penerbangan pertama kali dalam hidupnya. Tabir aneh yang menutupi pikiran rasionalnya, hingga tidak tahu ini malam ataukah siang. Jetleg. Ia masih tidak percaya akan pencapaian yang telah ia lakukan hingga detik ini. Kini, ia berada di suatu tempat yang ia impikan selama 2 tahun terakhir, sebuah tempat yang tergambar jelas dalam benaknya dan ia tulis besar-besar dalam kertas mimpinya, PARIS.

"Bonjour mademoiselle, bienvenu á Paris."(1)
Sebuah sapaan dengan aksen Perancis bagian selatan yang asing ia dengar, begitu ramah dan kembali menyadarkannya, ini benar-benar Perancis. Diikutinya arus orang-orang berjalan dan mengantri dalam sebuah line, kantor imigrasi, pikirnya. Sedikit was-was, dengan penampilannya yang tertutup rapat seperti itu, ada sebuah kemungkinan besar ia dianggap orang aneh dan membahayakan. Apalagi dengan hebohnya dunia karena berita tentang teroris saat ini. Pikiran-pikiran aneh tentang muslim-muslim yang biasa diperlakukan buruk di kantor imigrasi ketika akan memasuki sebuah negara asing, muncul dalam pikirannya. Apa lagi, ini Perancis bro.. sebuah negara yang terkenal paling sekuler sedunia. Takkan kubiarkan mereka macam-macam dengan ku, pikirnya sambil menyiapkan beberapa dokumen yang ada dalam tas kecil yang selalu dibawa kemanapun : passport, visa dan sebuah surat sakti. Dokumen –  dokumen itu adalah barang paling berharga ketika sesorang melakukan berjalanan ke sebuah negara asing, harus selalu dibawa kemana-mana kalau tidak ingin dianggap imigran gelap jika tiba-tiba ada razia. Seorang laki-laki Perancis bertubuh besar berambut pirang meminta dokumennya, sebuah aksen perancis kota kali ini,
"Indonésie?"  (2)
"Oui."  (3)
"Moeslem?"
"Oui."
"Qu’est que vous ferez ici?"(4)

"J’apprendrai le Français au… " (5)
"D’accord, avancez!!" (6)
"Merci." (7)
Sedikit kasar, tapi , fiuh, aman. Surat sakti itu benar-benar ampuh, jika tidak ada dokumen itu mungkin akan menghabiskan waktu berjam-jam di kantor imigrasi hanya untuk menjelaskan keperluan selama di Perancis. Dokumen itu adalah dokumen resmi dari instansi yang mengadakan program pertukaran pelajar yang ia ikuti. Dalam dokumen tersebut jelas disebutkan bahwa orang ini, dengan identitas ini, memiliki kepentingan ini dan bertanda tangan kepala institusi tersebut. Jadi jelas sudah, Saya Sabila Fatimah, seorang muslimah Indonesia, dan saya tidak berbahaya.

Waktu menunjukkan pukul 18.00 waktu setempat, waktunya sholat ashar pikirnya. Setelah sukses di  kantor imigrasi dan mengambil luggage-nya, ia berwudhu di wastafel toilet dan dicarinya sebuah tempat aman untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Tidak ia sia-sia waktu untuk mencari mushola yang memang tidak akan ia temukan di  sana. Dekat ruang tunggu bandara ada sebuah sudut kecil sepi, tempat yang bagus. Tidak banyak yang berlalulalang dekat tempat itu. Sering kali ia mendapat cerita atau bahkan melihat langsung orang-orang yang sholat di tengah keramaian. Orang-orang yang begitu teguhnya mendirikan perintah sang-Khalik dimana pun berada. Sungguh mulia dan keren orang-orang seperti itu pikirnya, dan saat ini ia merasakannya sendiri. Sebuah sensasi yang luar biasa. Kenapa di tempat yang asing dan tidak wajar ini, ia malah merasa begitu dekat dengan Tuhan-nya. Sungguh sebuah kenikmatan beribadah yang luar biasa. Tak terasa, air mata pun jatuh membasahi pipinya. Sungguh sebuah ucapan syukur tak terhingga yang ia sampaikan pada Tuhannya. Sebuah rasa atas nikmat luar biasa dan jawaban akan semua doanya selama ini. Sangat jelas dalam ingatannya, 2 tahun yang lalu, ketika ia tuliskan dalam kertas mimpinya, “ 30. Akan kutapakan kaki ku di negeri music klasik, Eropa.” dan ia panjatkan doa tulus setiap hari kepada Tuhan-nya , “ ya Allah ijinkan aku untuk melihat    ciptaan-Mu di belahan bumi yang lain”, dan kini, semua itu terjadi. Sungguh, Allah-lah sebaik-baiknya pemberi nikmat. Sebuah sujud syukur yang panjang sebagai pembatal nadzarnya, mengakhiri doanya. Kini hati dan jiwa semakin siap dan mantap untuk menantang perjalanan hidupnya di tanah baru selama 2 bulan ke depan. “Bismillah, kulangkahkan kakiku untuk mempertanggungjawabkan sesuatu yang kuinginkan selama ini, bukan untuk siapapun, tapi untuk Tuhan-ku”, pikirnya seiring langkah kakinya meninggalkan bandara.  




 -bersambung-


1. Halo Nona, selamat datang di Paris
2. Indonesia 
3. Iya
4. Apa yang akan ada lakukan di sini?
5. Saya akan belajar bahasa Perancis di…
6.  Oke. Lanjut/maju.
7. Terimakasih

Friday, March 30, 2012

Convergence of Humanity and Technology

We can not deny that technology is the key to the advancement of human life at the moment. I do not know whichever occurs first, whether technological or the progress itself. But for sure both areas are mutually supportive and hand in hand. With the technology, it feels that things run more easily without any limits of space and time. In fact, it can be said today, it is no longer the man who creates the technology, but it becomes technology which creates the human lifestyle. And even, we can say people in this recent time, especially young people who are very sensitive to the changes of technology, can not live without technology.
Everything must have positive and negative values, as well as technology. Technology provides a lot of changes and eases almost in all spheres of life. Even something that seems impossible at first but it became apparent with the technology, such as X-rays (rongent) and CT scans. It was not inconceivable, before Wilhelm Conrad Röntgen thought to use X-ray at the first time to take pictures of his wife's hand bones, how a doctor can diagnose that a person has a blockage of the arteries in the brain without surgery or even without touching the patient. But this time, it is real and with research and continuous development, the field of health technology will become more sophisticated.
But at the same time, technology can be a powerful weapon to kill people massively. At the time of the emergence of this remarkable technology, it is also accompanied by the emergence of various types of deadly diseases around the world. Even, some become endemic in a region such as dengue fever, avian influenza, HIV / AIDS and other deadly diseases. Until now, these diseases have killed thousands of people around the world. For instance, avian influenza which was killed 80 people and dengue fever which was killed 1100 in Indonesia peoples only in 2007 (Gray, 2009). AIDS is also rampant in Africa and it is estimated that nearly 4 until 20 million people of African Negro died of this disease (Gray, 2009). In fact, it is said that the African Negro will become an endangered species, unless the drug for the treatment of AIDS can be found right now (Gray, 2009). And worse, many people say and prove that the disease was created and developed by a particular group as a powerful murderer weapon. Medicine for AIDS and several other diseases have not been found, so there is increasing number of deaths from this disease each year. Indeed, the drug has not existed yet or, maybe, is deliberately not created.
Biological weapons, perhaps is the suitable word to describe a fact about the use of viral and bacterial which carriers of germs and diseases as a weapon of mass murderers. Maybe this time the war was no longer involved crossfire, it develop in a quieter but more deadly way, by sowing the seeds of the deathly disease. These methods were already used since 1763 when Henry Bouquet an English colonel killed the Indians to seize their land by distributing blankets that have been infected with measles. In World War I, American and British armed forces used phosgene, mustard gas and chlorine to counter the Germans. All of the gas caused death by a horrible way. For example is mustard gas. This is a heat agent that is caused debilitating, causing bleeding, and injuring the skin and lungs. Victims will be blind and large pieces of skin will peel off. In the present era, the war in Iraq, Palestine, and Afghanistan also can not be separated from the use of these biological weapons.
In the case of war or power struggle, like the examples which have mentioned above, biological weapons are widely used because it is cheaper, more effective and more deadly. The impact of the use of biological weapons is the massive deaths, destruction of social structure and even the extinction of mankind in a particular region.
In this more modern era, with the advances of technology and the ease of transportation, biological weapons are developed with more sophisticated. Artificial compounds can be made to create a deadly disease and the cure was not found in nature, thus, it created a perfect murderer weapon. The facts have proven and very clearly can be seen with the emergence of a variety of deadly diseases as mentioned earlier. But biological weapons are not only longer used in warfare. Its function has now been expanded. However, if many people know the facts in the real use of biological weapons today, many people will assume that such action is an inhuman act and clearly violate human rights. A group of people claiming the use of biological weapons is to establish a new world order.
It mentioned that the new world order is an attempt of a group of people to take over the world and have control over the fate of all mankind. To achieve this goal they do not hesitate to kill those who oppose or are deemed threatening. They also assume that people who have mental retardation, who is not capable, people with epilepsy, and who suffered physical and mental disorders must be eliminated. The group is calling them sub-human and the one who are not worthy to delivery offspring. More extreme, other groups use biological weapons to conduct genocide of a race that is deemed as subordinate, even considered not worthy to life. By spreading germs and deadly diseases, like AIDS, they succeeded in killing millions of people including women, children and babies. Then, is there any humanity point of those actions?
A novel by James Rollins, called The Doomsday Key 2012, told that biological weapons are also used as the attempts at mass murderer by a certain group. In this novel Doomsday itself does not mean the destruction of the universe, but a disorder that will be occur when the number of mankind will reach the threshold of the earth's ability to provide food. In these conditions there will be a big mess. A genetic manipulation is done on the source of food and cause the food is not safe for consumption, so it will be a killer weapon which is very powerful. Humans will die in a state of satiety. The purpose of all this is none other than to control the population of the world. However, can it still be called as humanity action?
There are many opinions issued by the various parties as a response toward the phenomenon of biological weapons. Indeed today, the world is facing a food crisis and security issues in several regions, especially in the countries of the third world. However, it is clearly not wise when it very easily kill people only for reasons of political interests and power. It is inhumane if a nation or a group of people using technology to oppress other nations of the weaker only because of the differences in skin color and social status. And even, it is not honorable degrading other people only because we consider ourselves superior. Technology does make everything is easy as possible for human life. Yet it is not wise when technological prospering of a nation but at the same time threaten the survival of other nations. Do not let technology make us a nation of barbarians. Technology should be used as well as possible.
However we argue, in fact, oppression in the name of power, political interests, and some have claimed for national security and the world, is still prevalent. All we can do now, especially as the younger generation, is to protect ourselves with science to be able to survive and fight with science and technology as well. We also need to be wise in utilizing natural resources, protecting the environment and efforts to prevent natural disasters and global disasters, for the sake of the survival of mankind. As the young generation should also take advantage of technology wisely, and participating in maintaining world peace. Cooperation, communication and good relationship across countries should be built. And I think the International Youth Forum Program is one attempt to make this happen. This program will increase the youth critical attitude of a growing issue in the international world and realize the tolerance between people. Especially the youth who will become agents of development in their respective countries and the world.

(Adams, 2010)

References:
Adams, M. (2010, March 2010). Pharmaceuticals are Weapons of Mass Prescription (comic). Retrieved March 31, 2012, from http://www.naturalnews.com/028271_pharmas_Big_Pharma.html

Gray, J. D. (2009). Deadly Mist . In J. D. Gray, Deadly Mist (p. 300). Jakarta : Gema Insani.

Rollins, J. (2009). The Doomsday Key 2012. In J. Rollins, The Doomsday Key 2012 (p. 524). New York: William Morrow-HarperCollins.

wikipedia. (2011, April 29). Wilhelm Röntgen. Retrieved April 29, 2011, from wikipedia : http://en.wikipedia.org/wiki/Wilhelm_R%C3%B6ntgen